Rabu, Februari 23, 2011

MENYOALKAN KEMBALI AKURASI LABEL HALAL DALAM PRODUK-PRODUK MAKANAN

Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah muslim terbesar didunia, lebih kurang 80% penduduknya menganut agama Islam. Dalam Islam, halal dan haram adalah bagian dari hukum syara’ yang saling berseberangan. Halal merujuk kepada hal-hal yang dilarang. Setiap muslim diperintahkan untuk hanya mengkonsumsi makanan atau minuman yang halal dan sebisa mungkin thayyib (baik dan menyehatkan). Sebaliknya kita terlarang mengonsumsi makanan dan minuman yang haram (Mayasari,  2007: 1). Suatu  makanan dikatakan halal, jika halal berdasarkan sifatnya dan bagaimana cara memperolehnya. Menentukan kehalalan bukan hanya dalam pengonsumsian terhadap makanan atau minuman saja, namun produk kesehatan dan kosmetik juga. Menganalisis kehalalan memiliki kompleksitas tersendiri, mulai dari proses awal pembuatan, bahan yang digunakan dalam pembuatan hingga hasil akhir produk, setelah itu baru diresmikan sebagai produk halal atau haram.  

Sertifikat Halal MUI adalah fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam. Sertifikat Halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang (Halalmui. org, 2/1/2010 ). Kurangnya kesadaran dari masyarakat akan pentingnya sertifikasi halal, karena selama ini sertifikasi tersebut hanya anjuran saja. Selain itu butuh biaya yang tidak sedikit untuk mendapat sertifikat tersebut. Namun disisi lain, jika sertifikasi halal diwajibkan dikhawatirkan hal ini dianggap sebagai monopoli perdagangan dalam bentuk label halal. Selain itu, diakui oleh produsen bahwa untuk mendapat sertifikat halal harus melalui syarat-syarat tertentu dan prosedur yang panjang, sehingga tak heran jika beberapa produsen membiarkan produknya tak tersertifikat halal atau tidak memperpanjang sertifikat halal produknya karena mengganggap ribet terhadap prosedurnya. 

Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim mengemukakan fakta yang mengejutkan bila ditambahkan sertifikat halal palsu atau tidak berlaku lagi mencapai 54,9 % dari produk yang beredar. Beliau menambahkan, belum adanya penegakan hukum yang menimbulkan efek jera, intensitas sosialisasi oleh pemerintah yang belum memadai, dan masih sedikitnya subsidi oleh pemerintah kepada usaha kecil dan menengah untuk mensertifikasi halal yang membuat pelanggaran masih tinggi (Halalmui. org, 9 /2/ 2011). Atas dasar inilah, dalam upaya meningkatkan prospek halal dan keamanan produk, sehingga perlunya menyoalkan kembali akurasi label halal dalam produk-produk makanan  untuk melindungi umat muslim terutama di Indonesia dari pengonsumsian produk yang haram.

Kasus label halal
Kasus yang pernah terjadi pada  tahun akhir 2000 lalu, MUI (Majelis Ulama Indonesia) menetapkan bahwa produk Ajinomoto yang diproduksi sejak November 2000 adalah haram karena mengandung lemak babi. Kemudian BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa Ajinomoto halal. Kesimpulan ini didasarkan penjelasan khas ahli kimia: “ Produk itu memang menggunakan lemak babi, tetapi bukan sebagai bahan dasar melainkan sebagai katalisator dalam proses fermentasi”(Simamora, 2008: 101-102). Walau demikian MUI tetap menetapkan Ajinomoto adalah haram, dengan alasan minyak babi berasal dari babi yang hukumnya  adalah haram, maka hasil  produksi yang ada didalamnya pun akan tetap haram.  Walau dikemudian hari bertepatan dengan milad MUI ke 22  pada tanggal 6 Januari 2011 lalu,  PT. Ajinomoto Indonesia mendapatkan setifikat Sistem Jaminan Halal (SJH). Sertifikat ini diperoleh setelah menyelesaikan tiga kali proses audit dengan capaian tiga kali nilai status ‘A’(Halalmui.org ,  6 /1/2011 ).
Tahun 1994, KFC (Kentucky Fried Chicken) mendapat sertifikasi halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM - MUI). Berdasarkan Panduan Umum Sistem Jaminan Halal (2008) “LPPOM-MUI merupakan sebuah lembaga yang dibentuk oleh MUI yang bertugas  menjalankan fungsi MUI untuk melindungi konsumen muslim dalam mengkonsumsi makanan, minuman, obat-obatan maupun kosmetika”.  
Terkait dengan bahan utama dalam KFC adalah Ayam. Berdasarkan sifatnya, ayam adalah halal, namun bagaimana dengan proses penyembelihan terhadap ayam tersebut?, selama ini yang kita ketahui proses penyembelihan ayam di KFC menggunakan mesin. Sudah sesuaikah dengan syariat Islam?. Menurut Dr.Ir.Joko Hermanianto, penulis buku Pedoman Produksi Pangan Halal, “Permasalahan yang sering terjadi dalam penentuan pangan halal adalah cara penyembelihan, produk turunan hewan, babi dan zat turunannya, khamr dan turunannya, produk mikrobial, serta ada tidaknya kandungan yang berasal dari bagian tubuh manusia” (Kompas Cyber Media,  27 /1/2010).
 Menurut  Dr. Danial Zainal Abidin (2008: 271-272) dalam bukunya  Al-qur'an for Life Excellence mengungkapkan bahwa Umat Islam harus berhati-hati dengan makanan yang dihasilkan saat ini. Kontroversi terhadap daging ayam potong KFC terutama di luar negeri. Hasil penyelidikan di rumah potong KFC di Moorefield,  West Virginia di Amerika, pada tanggal 20 Juli 2004, yang dikeluarkan oleh People for the Ethical Treatment of Animals (PETA), sebuah badan perlindungan untuk binatang terbesar didunia sangat mengejutkan. 

 Dr. Ian Duncan, Profesor Ethologi Gunaan dan Direktur Untuk Penelitian Binatang Universitas Guelph, setelah melihat rekaman video proses penyembelihan itu berkata, “Adegan paling kejam yang pernah saya saksikan terhadap ayam.” PETA didalam laporannya menambahkan, “ Penyiksaan paling kasar yang dialami oleh ayam di peternakan dan rumah potong KFC, termasuk disayat hidup-hidup”. Lalu bagaimana proses penyembelihan ayam KFC di Indonesia??,  Kontroversi serupa juga terjadi di Inggris dan Perancis, sehingga umat muslim meragukan label kehalalan terhadap KFC. 

Kasus lainnya, BreadTalk diragukan kehalalannya karena dianggap Subhat (tidak jelas halal haramnya). Kasus ini terjadi karena roti BreadTalk tidak melakukan perpanjangan sertifikat dan tes kehalalan kembali hingga akhirnya label tersebut dicabut oleh MUI. Padahal sertifikat hanya berlaku selama dua tahun sejak diterimanya tahun 2005 dan telah jatuh tempo tahun 2007 (eramuslim.com, 9/4/2008). Pertanyaan besar dibenak masyarakat adalah masihkah BreadTalk menjaga kekonsistenan kehalalan terhadap bahan dan proses produknya? atau mengubah sehingga tidak memperpanjang kembali sertifikat halalnya.
Pemberian label halal sendiri pada produk tanpa sertifikat kehalalan resmi kerap terjadi di lingkungan masyarakat. Hal ini dapat disebut sebagai pelabelan halal ilegal yang belum menjamin kehalalannya. Celakanya, jika hal ini membudaya dalam lingkungan masyarakat, maka yang terjadi adalah konsumen akan ragu terhadap produk yang berlabel halal. Pasalnya, produk yang berlabel halal saja masih diragukan kehalalannya apalagi produk yang tak berlabel halal. Oleh karena itu konsumen harus lebih jeli dalam memilih makanan yang benar-benar halal.

Cerdas memilih produk makanan halal dan aman
Menurut Dr. Ir. Heny Nuraini, Msi (2007: 19) “makanan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap proses pertumbuhan dan kesehatan  jasmani manusia, disamping itu juga berpengaruh terhadap faktor kejiwaan manusia”. Mau bagaimanapun, seorang muslim membutuhkan makanan guna memenuhi kebutuhan dalam tubuh, sehingga hal tersebut menuntut umat Islam untuk cerdas memilih produk-produk halal.  
Konsumen muslim harus jeli dalam memilih produk dalam kemasan. Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh konsumen yaitu dengan mengetahui komponen penyusun suatu bahan makanan dapat diketahui dengan cara melihat dan membaca ingrediensnya (bahan penyusunnya). Diantaranya adalah mengetahui istilah  bahan yang harus diwaspadai misalnya : pork = daging babi, ham= daging babi bagian paha, pork tallow= lemak berasal dari babi. Melihat waktu kadaluarsa (expired date), pilih produk berlabel ‘halal’, logo halal yang tersertifikasi oleh LPPOM MUI. Kemudian lihat  nomor registrasi untuk memastikan kalau produk sudah terdaftar di Badan Pengawasan Obat dan Makanan.  Produk yang sudah terdaftar memiliki kode SP, MD, ML yang diikuti satu deret nomor. Menghindari produk yang keterangannya sangat minim, berbahasa asing yang belum diterjemahkan, atau produk impor, karena menjadi produk yang meragukan (syubhat). Adapun untuk makanan yang tak berkemasan, konsumen harus mempertimbangkan beberapa hal seperti : melihat kebersihan tempar berjualan, memperhatikan kualitas produk dan mewaspadai produk yang ditawarkan murah dari harga umumnya (Nuraini, 2007: 65-67).

Mengakurasi kembali label halal terhadap produk-produk makanan melibatkan kerjasama antara Ilmuwan dan ulama, karena peran mereka sangat penting dalam menentukan kehalalan suatu produk. Ilmuwan membantu para ulama dengan kemampuannya menganalisis baik tidaknya suatu produk termasuk proses didalamnya, kemudian ulama menganalisis dalam hukum agama. LPPOM - MUI mengakurasi terhadap bahan-bahan yang akan diproduksi dengan bekerjasama dengan Menteri Kesehatan Republik Indonesia melalui  Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Memonitoring dua atau tiga setiap bulannya terhadap produk yang sudah berlabel halal untuk lebih menjamin kehalalan dan menjaga kekonsistenan produsen. Karena selama ini, MUI memberi masa berlaku sertifikat halal tersebut selama dua tahun baru kemudian dimonitoring/ audit kembali. Upaya serupa juga harus dilakukan Pemerintah  untuk memberikan supsidi lebel halal kepada usaha kecil dan menengah, sosialisasi dan mendukung pemberlakuan sanksi jika terjadi pelanggaran ketidakkonsistenan produsen terhadap produk yang telah berlabel halal.  Maka, berbagai upaya dalam mengakurasi label halal pada produk-produk makanan tak lepas melibatkan beberapa komponen seperti: Ulama, Ilmuwan, pemerintah dan masyarakat untuk merealisasikan terjaminannya kehalalan produk baik tinjauan syar’i,  gizi dan kesehatan.


Oleh 
Nurrahmah Assyamsury
Mahasiswi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.



Daftar Pustaka
Abidin, Danial Zainal. 2008. Al-qur'an for Life Excellence (Tips-tips Cemerlang dari     Alquran). Jakarta Selatan: Penerbit Hikmah (terjemah). 
Admin. 2010. Certification procedure. http://www.halalmui.org pada tanggal 12 Februari 2011.
E-book Panduan Umum Sistem Jaminan Halal. 2008. Diakses melalui http://www.halalmui.org pada tanggal 12 Februari 2011.
LPPOM MUI: Produsen Roti BreadTalk Belum Perpanjang Sertifikat Halal. 2008.  Diakses melalui http://www.eramuslim.com pada tanggal 14 Februari 2011.
Mayasari, Nura. 2007.  Mom's Guide: Memilih Makanan Halal.  Jakarta Selatan:  Quantum  Media.
Nadia. 2011. Separuh Produk yang Beredar Tidak Memenuhi Ketentuan. Diakses melalui http://www.halalmui.org pada tanggal 13 Februari 2011.
Nadia. 2011.  PT. Ajinomoto Indonesia dan PT. Ajinex Internasional Peroleh Sertifikat SJH. Diakses melalui http://www.halalmui.org pada tanggal 14 Februari 2011.
Nuraini, Heny. 2007. Memilih & Membuat Jajanan Anak yang Sehat & Halal. Jakarta Selatan: Quantum Media.
Rumitnya Menentukan Kehalalan Suatu Produk. 2010. Diakses melalui  http://kesehatan.kompas.com pada tanggal 12 Februari 2011.
Simamora, Bilson. 2008. Panduan riset perilaku konsumen. Jakarta: Penerbit PT   Gramedia utama.







3 komentar:

  1. Tinggla di negar yang mayoritas muslim tapi ternyata masih begitu banyak makanan yang yang tidak layak di konsumsi sebagai muslim, sangat mengenaskan.

    BalasHapus
  2. iya mbak harus cerdas dalam memilih makanan
    kalau meragukan ya lebih baik di tinggalkan saja
    mendingan makan di angkringan yang insyaAllah halal (alibi anak kost) :-D

    BalasHapus
  3. ternyat banyak sekali di sekitar kita produk-produk makanan yang belum aman dikonsumsi sebagai muslim. Tanggung jawab siapa ya?

    BalasHapus